Aku dan Grant telat melewati pacaran selama 3
tahun, tahun depan merupakan tahun ke-4 kita membangun hubungan bersama.
Keputusan kami membangun hubungan bukan untuk sekedar memuaskan hidup, untuk
senang-senang , dan lain-lain. Tapi, kami punya satu tujuan yaitu menikah. Awal
aku ditanya oleh seseorang tentang definisi pernikahan. Menurutku, pernikahan adalah
sesuatu hal yang complicated. Menurutku
pernikahan itu bukanlah sesuatu hal yang selalu menyenangkan seperti sebuah
cerita dongeng. Namun, pernikahan itu banyak hal yang akan kamu temukan seperti
sebuah tantangan terbaru dalam hidupmu. Seperti kamu keluar dari comfort zone. Aku dan Grant berkomitmen
sebelum kami memutuskan kearah pernikahan kami harus menyelesaikan min. 5 buku
tentang “pernikahan” sebelum kami menikah. Kami sudah melewati komitmen ini.
Tahun pertama kami hanya berhasil menyelesaikan 1 buah buku. Tahun ketiga ini
kami memulai lagi untuk menyelesaikan komitmen kami.
Sekarang Saya ingin berbagai pengetahuan dari buku
yang saya baca di tahun ke- 3 ini. Buku ini berjudul: Sacred Marriage” yang ditulis oleh Gary Thomas. Dia menuliskan
buku ini untuk istrinya.
Diawal
saya membaca pendahuluannya saya begitu menganguminya yang menurut saya dia
romantis. Perkataan yang saya kutip, “saya telah mengujinya dan diuji olehnya.
Saya telah berdosa kepadanya dan meminta pengampunannya. Saya telah tertawa
dengannya, menangis dengannya, berdoa dengannya, dan mendapatkan anak-anak
bersamanya. Lisa, saya semkin mengagumimu
hari demi hari. Saya tidak bisa membayangkan hidup tanpamu. Kepribadianmu telah
menjadikan pernikahan kita sebuah perayaan, dan imanmu telah menjadikannya
kudus. Kamu sungguh hartaku yang tak ternilai.”
Memasuki
point pertama dalam buku ini :
1.
TANTANG TERBESAR DI DUNIA- PANGGILAN HIDUP KUDUS YANG MELAMPAUI KEBAHAGIAAN.
·
Buku ini akan
mengajak kita melihat bagaimana menggunakan berbagai tantangan, sukacita,
pergumulan, dan keberhasilan dalam pernikahan untuk lebih membawa kita makin
dekat dengan Tuhan dan bertumbuh dalam karakter seorang murid Kristus.
·
Sebuah gagasan yang
pernah dikemukan oleh Francis de Sales, bahwa
menikah sama sekali bukanlah sebuah tindakan mengabaikan panggilan Tuhan.
Sebaliknya, pernikahan bisa jadi merupakan pelayanan tersulit yang bisa
dilakukan.” Pernikahan memerlukan lebih banyak kebajikan dan kesetiaan
dibandingkan pelayanan yang lain.” Pernikahan juga melatih penyangkalan diri
secara terus menerus. Dari proses yang pahitnya seperti getah tanaman thyme ini, kita bisa menghasilkan madu
kekudusan hidup yang manis.” (Lebah madu yang mengisap nektar dari tanaman thyme, dapat menghasilkan madu
berkualitas tinggi,ed.).
·
Penekanan de Sales
tentang “rasa pahit” dari getah” pernikahan. Dan aku setuju sekali ketika
penulis berkata bahwa untuk mendapatkan manfaat rohani dari pernikahan kita
harus bersikap jujur. Kita perlu memeriksa setiap kekecewaan kita,
mengakui tindakan-tindakan buruk kita, dan mengatasi sifat egois kita. kita
harus membuang konsep yang mengajarkan bahwa kesulitan dalam pernikahan dapat
diatasi cukup dengan berdoa lebih giat atau cukup dengan belajar prinsip
sederhana. Saya mau nambahin maksud dari penulis menurut saya bukan berarti
kita meremehkan doa, saya mengibaratkan dengan prinsip “Ora et Labora”. Kalian
pasti tahu tentang prinsip tersebut. Dan kebanyakan dari kita menggunakan
prinsip sederhana yang hanya menyelesaikan masalah di permukaannya saja.
Pertanyaan yang diberikan : Mengapa demikian? Sebab lebih dari sekedar menjawab
bagaimana “memperbaiki” pernikahan kita, masalah yang paling mendasar adalah:
bagaimana jika ternyata Tuhan tidak merancang pernikahan sebagai perjalanan
yang “lebih mudah”? bagaimana jika Tuhan memiliki tujuan akhir yang melampaui
kesenangan, kenyamanan dan hasrat untuk kita hidup bahagia seperti ketika dunia
ini belum jatuh dalam dosa? Bagaimana jika Tuhan merancang pernikahan lebih
untuk menguduskan kita daripada menyenangkan kita? Dan sejujurnya pertanyaan
ini membuat pertanyaan yang belum saya temukan jawaban.
·
Tipu Daya Romantisisme. Konsep ini terdengar radikal dan sangat berbeda
dari pandangan popular tentang pernikahan, penting bagi kita untuk mengingat
bahwa konsep “cinta romantis” yang diagung-agungkan dalam film, lagu, dan
novel, dulu juga tidak dikenal oleh orang-orang di masa lampau. Ini tidak
lantas berarti bahwa romantisisme itu sendiri atau hasrat untuk lebih banyak
cinta romantis itu selalu tidak baik; baik pernikahan yang baik justru berusaha
mempertahankan adanya nuansa romantis. Akan tetapi, gagasan bahwa pernikahan
bisa bertahan dengan romantisme belaka, atau bahwa perasaan-perasaan romantis
lebih penting dibandingkan berbagai pertimbangan lainnya ketika memilih
pasangan hidup, telah menghancurkan banyak bahtera rumah tangga. Menurut Porter
(dalam Thomas, 2016), realitas kehidupan manusia demikian parah sehingga kita
harus “menyelamatkan potongan-potongan kebahagian kita” dari penderitaan yang
tak terelakkan dalam hidup ini. Porter mengingatkan, jika pernikahan hanya
disandarkan pada cinta romantis, seorang wanita muda dapat kehilangan
“ketenangan hatinya. Ia takut pernikahannya akan mengalami kehancuran sebab
adakalanya ia merasa muak terhadap suaminya. Ia tidak mampu mengakui kenyataan
ini, sebab baginya, pengakuan tersebut akan merusak apa yang selama ini
dianggapnya sebagai cinta.”
·
Cinta yang romantis
tidaklah elastis, direntangkan sedikit saja akan segera terputus habis. Cinta
yang dewasa, cinta yang dibutuhkan dalam sebuah pernikahan yang baik, haruslah bisa direntangkan, sebab
sebagai manusia berdosa, setiap kita memiliki emosi yang tidak konsisten.
Inilah realitas hati manusia, hal yang tak terhindarkan ketika dua manusia
berdosa memutuskan untuk hidup bersama, dengan segala kekurangan masing-masing,
disepanjang usia mereka. Upacara pernikahan memanggil kita untuk hidup menurut
standar yang sempurna, yang dalam kenyataannya hampir tidak mungkin dicapai.
Namun, kehidupan pernikahan itu sendiri mengingatkan kita akan realitas
sehari-hari keberadaan kita sebagai manusia berdosa yang tinggal di dalam dunia
yang pada dasarnya sudah rusak. Kita rindu untuk dapat mengasihi, tetapi
seringkali kita justru jatuh ke dalam kebenciaan.
·
Saya setuju sekali,
ketika Thomas berkata didalam bukunya bahwa pada satu titik kita menyadari
romantika semasa pacaran yang naik turun bak
roller coaster akan menjadi seperti perjalanan melewati Midwest Interstate (kalau saya mengibaratkan seperti perjalanan
dari Kalideres menuju tanjung duren) yang panjang dan datar, sesekali saja
melewati jembatan layang. Ketika hal itu terjadi, para pasangan berespons
secara berbeda-beda. Banyak yang memutuskan untuk bercerai lalu menjalin
hubungan romantis dengan pasangan yang baru. Sebagian lagi tidak bercerai,
tetapi mulai sering bertengkar dan menyalahkan pasangan sebagai sumber
ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan. Beberapa pasangan memutuskan
untuk ‘hidup berdampingan dengan damai”. Tetapi ada pula pasangan-pasangan yang
memilih untuk menggali pelajaran rohani di balik situasi yang mengharuskan
mereka berjuang menjaga keintiman dalam pernikahan.
·
Pernikahan memanggil
kita memasuki sebuah kehidupan yan benar-benar baru dan tidak mementingkan diri
sendiri. Pernikahan adalah salah satu situasi hidup yang menolong saya untuk
bisa memahami bahwa arti, tujuan, dan kepuasan hidup saya hanya berasal dari Tuhan saja.
·
Pelajaran lain yang
saya temukan adalah bahwa pernikahan yang paling diinginkan melebihi segala
yang lain adalah memiliki keintiman yang makin dalam dengan Tuhan. Jika
hubungan dengan Tuhan benar, maka dalam berpasangan tidak akan saling menuntut
secara berlebihan di dalam pernikahan, meminta dan mengharapkan pasangan untuk
mengisi kekosongan rohani. Sebagai manusia berdosa, kita tidak bisa menghargai
pasangan kita satu sama lain seperti Tuhan menghargai kita. Pasangan tidak
mampu memahami sebagaimana pasangan tersebut ingin dipahami. Tetapi, Tuhan
bersukacita atas masing-masing pribadi. Tuhan menghargai kebiasaan-kebiasaan
aneh dan juga memahami niat baik hati, bahkan ketika itu dibungkus oleh
perilaku yang sangat bodoh.
·
Satu hal yang pasti
: Kita tidak bisa mengharapkan pasangan kita menjadi seperti Tuhan baginya.
Betapun pasangan tersebut berusaha untuk mengasihi pasangannya sebagaimana
Tuhan mengasihinya, pasangan tersebut akan selalu gagal. Karena seberapapun
kita berusaha sebaik mungkin, tetapi akan selalu tidak sempurna.
·
Mencari Cinta di Berbagai Tempat yang Salah. Saya setuju dengan penyampaian di buku ini yang
menyatakan bahwa ketidakpuasan dalam pernikahan terutama disebabkan oleh
harapan yang terlalu tinggi. Kita ingin mendapatkan kepuasan hidup terbesar
dari hubungan kita dengan pasangan kita. Itu adalah harapan yang terlalu
tinggi.
·
Tentu saja di dalam
pernikahan harus ada masa-masa yang menyenangkan, penuh makna, dan kepuasaan
sebagaimana lazimnya pasangan suami istri. Buku ini membahas dan menunjukkan
hal-hal yang melampaui pernikahan. pertumbuhan rohani adalah tema utamanya, dan
pernikahan berfungsi sebagai konteksnya saja. sebagaimana para biarawan dan
para pertapa mendekatkan diri kepada Tuhan melalui kesendirian mereka, kita
juga dapat menggunakan pernikahan untuk tujuan yang sama, yaitu untuk bertumbuh
dalam pelayanan, ketaatan, karakter, kerinduan, dan cinta kepada Tuhan.
Ini pembahasan yang saya dapatkan dan yang ingin saya bagikan di
Bab 1 buku ini.
Terimakasih
Salam Kasih,
Novia Purba
God bless….