Senin, 31 Juli 2017

Sacred Marriage



Aku dan Grant telat melewati pacaran selama 3 tahun, tahun depan merupakan tahun ke-4 kita membangun hubungan bersama. Keputusan kami membangun hubungan bukan untuk sekedar memuaskan hidup, untuk senang-senang , dan lain-lain. Tapi, kami punya satu tujuan yaitu menikah. Awal aku ditanya oleh seseorang tentang definisi pernikahan. Menurutku, pernikahan adalah sesuatu hal yang complicated. Menurutku pernikahan itu bukanlah sesuatu hal yang selalu menyenangkan seperti sebuah cerita dongeng. Namun, pernikahan itu banyak hal yang akan kamu temukan seperti sebuah tantangan terbaru dalam hidupmu. Seperti kamu keluar dari comfort zone. Aku dan Grant berkomitmen sebelum kami memutuskan kearah pernikahan kami harus menyelesaikan min. 5 buku tentang “pernikahan” sebelum kami menikah. Kami sudah melewati komitmen ini. Tahun pertama kami hanya berhasil menyelesaikan 1 buah buku. Tahun ketiga ini kami memulai lagi untuk menyelesaikan komitmen kami.
Sekarang Saya ingin berbagai pengetahuan dari buku yang saya baca di tahun ke- 3 ini. Buku ini berjudul: Sacred Marriage” yang ditulis oleh Gary Thomas. Dia menuliskan buku ini untuk istrinya.
Diawal saya membaca pendahuluannya saya begitu menganguminya yang menurut saya dia romantis. Perkataan yang saya kutip, “saya telah mengujinya dan diuji olehnya. Saya telah berdosa kepadanya dan meminta pengampunannya. Saya telah tertawa dengannya, menangis dengannya, berdoa dengannya, dan mendapatkan anak-anak bersamanya. Lisa, saya semkin mengagumimu hari demi hari. Saya tidak bisa membayangkan hidup tanpamu. Kepribadianmu telah menjadikan pernikahan kita sebuah perayaan, dan imanmu telah menjadikannya kudus. Kamu sungguh hartaku yang tak ternilai.”
Memasuki point pertama dalam buku ini :
1. TANTANG TERBESAR DI DUNIA- PANGGILAN HIDUP KUDUS YANG MELAMPAUI KEBAHAGIAAN.
·         Buku ini akan mengajak kita melihat bagaimana menggunakan berbagai tantangan, sukacita, pergumulan, dan keberhasilan dalam pernikahan untuk lebih membawa kita makin dekat dengan Tuhan dan bertumbuh dalam karakter seorang murid Kristus.
·         Sebuah gagasan yang pernah dikemukan oleh Francis de Sales, bahwa menikah sama sekali bukanlah sebuah tindakan mengabaikan panggilan Tuhan. Sebaliknya, pernikahan bisa jadi merupakan pelayanan tersulit yang bisa dilakukan.” Pernikahan memerlukan lebih banyak kebajikan dan kesetiaan dibandingkan pelayanan yang lain.” Pernikahan juga melatih penyangkalan diri secara terus menerus. Dari proses yang pahitnya seperti getah tanaman thyme ini, kita bisa menghasilkan madu kekudusan hidup yang manis.” (Lebah madu yang mengisap nektar dari tanaman thyme, dapat menghasilkan madu berkualitas tinggi,ed.).
·         Penekanan de Sales tentang “rasa pahit” dari getah” pernikahan. Dan aku setuju sekali ketika penulis berkata bahwa untuk mendapatkan manfaat rohani dari pernikahan kita harus bersikap jujur. Kita perlu memeriksa setiap kekecewaan kita, mengakui tindakan-tindakan buruk kita, dan mengatasi sifat egois kita. kita harus membuang konsep yang mengajarkan bahwa kesulitan dalam pernikahan dapat diatasi cukup dengan berdoa lebih giat atau cukup dengan belajar prinsip sederhana. Saya mau nambahin maksud dari penulis menurut saya bukan berarti kita meremehkan doa, saya mengibaratkan dengan prinsip “Ora et Labora”. Kalian pasti tahu tentang prinsip tersebut. Dan kebanyakan dari kita menggunakan prinsip sederhana yang hanya menyelesaikan masalah di permukaannya saja. Pertanyaan yang diberikan : Mengapa demikian? Sebab lebih dari sekedar menjawab bagaimana “memperbaiki” pernikahan kita, masalah yang paling mendasar adalah: bagaimana jika ternyata Tuhan tidak merancang pernikahan sebagai perjalanan yang “lebih mudah”? bagaimana jika Tuhan memiliki tujuan akhir yang melampaui kesenangan, kenyamanan dan hasrat untuk kita hidup bahagia seperti ketika dunia ini belum jatuh dalam dosa? Bagaimana jika Tuhan merancang pernikahan lebih untuk menguduskan kita daripada menyenangkan kita? Dan sejujurnya pertanyaan ini membuat pertanyaan yang belum saya temukan jawaban.
·         Tipu Daya Romantisisme. Konsep ini terdengar radikal dan sangat berbeda dari pandangan popular tentang pernikahan, penting bagi kita untuk mengingat bahwa konsep “cinta romantis” yang diagung-agungkan dalam film, lagu, dan novel, dulu juga tidak dikenal oleh orang-orang di masa lampau. Ini tidak lantas berarti bahwa romantisisme itu sendiri atau hasrat untuk lebih banyak cinta romantis itu selalu tidak baik; baik pernikahan yang baik justru berusaha mempertahankan adanya nuansa romantis. Akan tetapi, gagasan bahwa pernikahan bisa bertahan dengan romantisme belaka, atau bahwa perasaan-perasaan romantis lebih penting dibandingkan berbagai pertimbangan lainnya ketika memilih pasangan hidup, telah menghancurkan banyak bahtera rumah tangga. Menurut Porter (dalam Thomas, 2016), realitas kehidupan manusia demikian parah sehingga kita harus “menyelamatkan potongan-potongan kebahagian kita” dari penderitaan yang tak terelakkan dalam hidup ini. Porter mengingatkan, jika pernikahan hanya disandarkan pada cinta romantis, seorang wanita muda dapat kehilangan “ketenangan hatinya. Ia takut pernikahannya akan mengalami kehancuran sebab adakalanya ia merasa muak terhadap suaminya. Ia tidak mampu mengakui kenyataan ini, sebab baginya, pengakuan tersebut akan merusak apa yang selama ini dianggapnya sebagai cinta.”
·         Cinta yang romantis tidaklah elastis, direntangkan sedikit saja akan segera terputus habis. Cinta yang dewasa, cinta yang dibutuhkan dalam sebuah pernikahan yang baik, haruslah bisa direntangkan, sebab sebagai manusia berdosa, setiap kita memiliki emosi yang tidak konsisten. Inilah realitas hati manusia, hal yang tak terhindarkan ketika dua manusia berdosa memutuskan untuk hidup bersama, dengan segala kekurangan masing-masing, disepanjang usia mereka. Upacara pernikahan memanggil kita untuk hidup menurut standar yang sempurna, yang dalam kenyataannya hampir tidak mungkin dicapai. Namun, kehidupan pernikahan itu sendiri mengingatkan kita akan realitas sehari-hari keberadaan kita sebagai manusia berdosa yang tinggal di dalam dunia yang pada dasarnya sudah rusak. Kita rindu untuk dapat mengasihi, tetapi seringkali kita justru jatuh ke dalam kebenciaan.
·         Saya setuju sekali, ketika Thomas berkata didalam bukunya bahwa pada satu titik kita menyadari romantika semasa pacaran yang naik turun bak roller coaster akan menjadi seperti perjalanan melewati Midwest Interstate (kalau saya mengibaratkan seperti perjalanan dari Kalideres menuju tanjung duren) yang panjang dan datar, sesekali saja melewati jembatan layang. Ketika hal itu terjadi, para pasangan berespons secara berbeda-beda. Banyak yang memutuskan untuk bercerai lalu menjalin hubungan romantis dengan pasangan yang baru. Sebagian lagi tidak bercerai, tetapi mulai sering bertengkar dan menyalahkan pasangan sebagai sumber ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan. Beberapa pasangan memutuskan untuk ‘hidup berdampingan dengan damai”. Tetapi ada pula pasangan-pasangan yang memilih untuk menggali pelajaran rohani di balik situasi yang mengharuskan mereka berjuang menjaga keintiman dalam pernikahan.
·         Pernikahan memanggil kita memasuki sebuah kehidupan yan benar-benar baru dan tidak mementingkan diri sendiri. Pernikahan adalah salah satu situasi hidup yang menolong saya untuk bisa memahami bahwa arti, tujuan, dan kepuasan hidup saya hanya berasal dari Tuhan saja.
·         Pelajaran lain yang saya temukan adalah bahwa pernikahan yang paling diinginkan melebihi segala yang lain adalah memiliki keintiman yang makin dalam dengan Tuhan. Jika hubungan dengan Tuhan benar, maka dalam berpasangan tidak akan saling menuntut secara berlebihan di dalam pernikahan, meminta dan mengharapkan pasangan untuk mengisi kekosongan rohani. Sebagai manusia berdosa, kita tidak bisa menghargai pasangan kita satu sama lain seperti Tuhan menghargai kita. Pasangan tidak mampu memahami sebagaimana pasangan tersebut ingin dipahami. Tetapi, Tuhan bersukacita atas masing-masing pribadi. Tuhan menghargai kebiasaan-kebiasaan aneh dan juga memahami niat baik hati, bahkan ketika itu dibungkus oleh perilaku yang sangat bodoh.
·         Satu hal yang pasti : Kita tidak bisa mengharapkan pasangan kita menjadi seperti Tuhan baginya. Betapun pasangan tersebut berusaha untuk mengasihi pasangannya sebagaimana Tuhan mengasihinya, pasangan tersebut akan selalu gagal. Karena seberapapun kita berusaha sebaik mungkin, tetapi akan selalu tidak sempurna.
·         Mencari Cinta di Berbagai Tempat yang Salah. Saya setuju dengan penyampaian di buku ini yang menyatakan bahwa ketidakpuasan dalam pernikahan terutama disebabkan oleh harapan yang terlalu tinggi. Kita ingin mendapatkan kepuasan hidup terbesar dari hubungan kita dengan pasangan kita. Itu adalah harapan yang terlalu tinggi.
·         Tentu saja di dalam pernikahan harus ada masa-masa yang menyenangkan, penuh makna, dan kepuasaan sebagaimana lazimnya pasangan suami istri. Buku ini membahas dan menunjukkan hal-hal yang melampaui pernikahan. pertumbuhan rohani adalah tema utamanya, dan pernikahan berfungsi sebagai konteksnya saja. sebagaimana para biarawan dan para pertapa mendekatkan diri kepada Tuhan melalui kesendirian mereka, kita juga dapat menggunakan pernikahan untuk tujuan yang sama, yaitu untuk bertumbuh dalam pelayanan, ketaatan, karakter, kerinduan, dan cinta kepada Tuhan.        


Ini pembahasan yang  saya dapatkan dan yang ingin saya bagikan di Bab 1 buku ini.                       
Terimakasih






Salam Kasih,
Novia Purba

God bless….